Cari Blog Ini

Total Tayangan Halaman

Jumat, 17 Desember 2010

Limbah Plastik dan Wanita

Limbah plastik sangat erat hubungannya dengan wanita. Hal ini di tunjukkan dengan kegiatan para wanita seperti berbelanja, kantong plastik selalu menjadi bagian yang tak terpisahkan. Mulai dari jajan panganan di pinggir jalan, hingga berbelanja keperluan rumah tangga di mal-mal besar. Padahal, kita bukannya tidak tahu masalah yang timbul akibat kantong plastik.

Kalau Anda membawa makanan panas dalam kantong plastik, panas makanan tersebut dapat melarutkan zat-zat tertentu dari plastik yang mengakibatkan makanan tersebut tercemar zat yang justru tidak layak dikonsumsi. Atau, jika sampah plastik dibakar, asap yang terhirup oleh manusia pun mengandung zat-zat berbahaya. Padahal, kita sering memanfaatkan plastik sebagai kantong sampah yang entah bagaimana penanganannya kelak, entah dibakar atau dikubur dalam tanah.

Dipendam di tanah pun ternyata tak menyelesaikan masalah karena sampah plastik membutuhkan waktu hingga ratusan tahun untuk dapat hancur. Hewan pun tak luput dari dampak buruk kantong plastik. Beberapa kasus telah dilaporkan, misalnya hewan laut yang mati akibat menelan sampah plastik atau kepalanya tertutup plastik hingga ia tidak dapat mencari makanan.

Tampaknya kantong plastik sudah menjadi bagian dari gaya hidup sehingga begitu sulit untuk melepaskan diri darinya. Beberapa waktu lalu beberapa kalangan sudah melakukan pengurangan pemakaian kantong plastik dari supermarket. Mereka membawa tas belanja sendiri, biasanya terbuat dari kain, yang dapat dipakai berulang kali. Namun, tas belanja ini sering kali terlupakan saat kita belanja secara dadakan. Hanya segelintir orang yang menyimpan tas belanjanya di mobil atau di tas tangan sehingga siap digunakan sewaktu-waktu.

Cara lain yang digunakan terutama jika berbelanja cukup banyak adalah meminta kardus dari supermarket. Seperti yang kita ketahui, setiap supermarket tentu memiliki banyak simpanan kardus karena umumnya barang-barang yang mereka terima dari pabrik dikemas dalam kardus-kardus berukuran besar. Mulai dari air mineral, kaleng susu, hingga makanan siap saji dan popok sekali pakai. Kardus inilah yang sekarang gantian kita manfaatkan untuk membawa pulang barang-barang belanjaan.

Sebenarnya, masalah limbah plastik membutuhkan penanganan yang lebih menyeluruh. Beberapa tahun lalu, IKEA di Singapura telah menjalankan program di mana kantong plastik tidak langsung disediakan, melainkan harus dibeli. Meskipun harganya tidak seberapa, tetapi cara ini efektif membuat pembelinya berpikir ulang apakah mereka benar-benar membutuhkan kantong plastik.

Cara yang sama digunakan di China. Menurut website National Geographic, negara berpenduduk terbanyak itu melarang toko-toko menyediakan kantong plastik secara cuma-cuma. Mereka harus menetapkan biaya tambahan bagi pelanggan yang tetap ingin memakai tas plastik dan mereka boleh mengambil keuntungan dari penjualan tas plastik. Hasilnya, pelanggan belajar menggunakan tas plastik bekas. Kebijakan tersebut berhasil menurunkan pemakaian kantong plasting hingga 50% atau setara dengan 100 miliar kantong plastik. Bagaimana dengan Indonesia?

Senin, 13 Desember 2010

Cegah Penularan HIV kepada Janin

Cegah Penularan HIV! Hal ini sering kita dengar baik di media cetak, elektronik maupun internet. Hari AIDS sedunia yang baru saja diperingati tanggal 1 Desember lalu mengingatkan kita pada peringatan bulan Agustus 1987, ketika Thomas Netter dan James Bunn dari Program Global untuk AIDS milik badan kesehatan dunia WHO ingin menetapkan satu hari untuk meningkatkan kesadaran penduduk dunia atas penyebaran penyakit AIDS. Jonathan Mann adalah Direktur Program Global (sekarang dikenal sebagai UNAIDS), yang menyetujui dan memutuskan tanggal 1 Desember 1988 sebagai peringatan tahunan pertama untuk AIDS. Sementara pita merah yang menjadi simbol solidaritas terhadap HIV/AIDS dimulai tahun 1991.

AIDS memang penyakit yang memprihatinkan, salah satunya karena dapat menular dari ibu hamil kepada anaknya. Menurut laporan UNAIDS dalam Report on The Global AIDS Epidemic 2010, sepanjang tahun 2009 terdapat 370.000 anak yang tertular dari ibu mereka. Hal ini menunjukkan penurunan dibanding data pada tahun 2001, yaitu sebanyak 500.000 anak. Penurunan ini merupakan hasil perjuangan beberapa negara, di antaranya Botswana, Namibia, Afrika Selatan, dan Swaziland. Negara-negara tersebut memberikan lebih dari 80% obat antiretroviral (ARV) untuk mencegah perpindahan penyakit ini dari ibu ke anak. Prosentase wanita di negara miskin dan berkembang yang menerima ARV pun mengalami peningkatan, dari 15% di tahun 2005 menjadi 45% di tahun 2008 dan 53% di tahun 2009.

Meski demikian, masih sedikit ibu hamil yang memeriksakan diri dari kemungkinan HIV. Bisa jadi para ibu sudah ‘pasrah’ bahwa penyakit tersebut pasti akan menular kepada janinnya. Padahal, kondisi ini tidak selalu terjadi. Dengan memeriksakan diri, kondisi mereka menjadi lebih terpantau, selain mendapatkan informasi yang benar mengenai HIV pada ibu hamil. Misalnya, bahwa ibu hamil yang terinfeksi HIV tetap dapat melindungi bayi dengan pengobatan ARV dan setelah lahir tidak diizinkan untuk menyusui si bayi.

Program pemberian ARV secara cuma-cuma ini bersumber pada dana yang sebagian besar berasal dari program Global Fund for AIDS, TB, and Malaria yang digagas negara-negara G-8. Ketergantungan ini mencemaskan banyak pihak karena jika lisensi ARV berakhir, harga obat ini mungkin akan kembali mahal sehingga menyulitkan program pemberian ARV secara cuma-cuma. Meski demikian, Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) memastikan bahwa dana untuk mensubsidi ARV HIV/AIDS masih cukup hingga 2015, yang berasal dari Global Fund dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). UNAIDS sendiri bertekad menjadikan tahun 2015 sebagai tahun bebas perpindahan HIV dari ibu ke anak.

Untuk mendapatkan obat gratis ini, diperlukan bukti pemeriksaan laboratorium bahwa pasien yang bersangkutan benar-benar terinfeksi HIV/AIDS. Hal ini penting karena ARV sangat berbahaya bagi orang yang tidak mengidap HIV/AIDS. Meskipun demikian, ARV tidak sepenuhnya menyembuhkan HIV/AIDS. Obat ini hanya bertujuan memperlambat infeksi HIV dan menunda AIDS dengan cara mengganggu dan memperlambat replikasi HIV. Caranya dengan menghambat atau mengikat enzim yang diperlukan untuk menggandakan HIV. Jika HIV dapat menggandakan diri, ia akan menginfeksi sel lain yang masih sehat. Semakin banyak sel yang terinfeksi dapat menurunkan kekebalan tubuh secara keseluruhan.

Pemerintah Indonesia telah mematenkan produksi ARV jenis Efavirenz, Neviraphine, dan Lamivudine. Namun karena telah ditemukan kekebalan terhadap obat-obatan ini, pemerintah berusaha mematenkan ARV lini kedua, yaitu Tenovovir, Ritonavir dan Didanosin. Kini, 12 obat-obat ARV telah terdaftar dalam daftar obat penting WHO, yaitu Abacavir (ABC), Didanosin (ddI), Lamivudine (3TC), Stavudine (d4T), Zidovudine (ZDV atau AZT), Efavirenz (EGV atau EFZ), Nevirapine (NVP), Indinavir (IDV), Nelfinavir (NFV), Ritonavir, Saquinavir (SQV), Lopinavir/low-dose Ritonavir (LPV/r). Antarobat ARV ini akan dikombinasikan untuk mencapai pengobatan efektif dalam jangka panjang. Tujuannya adalah mengurangi jumlah HIV dalam darah dan meningkatkan jumlah sel darah putih yang penting bagi sistem kekebalan tubuh.

UNAIDS kini semakin menggiatkan edukasi terhadap remaja putri untuk memahami HIV dan cara penularannya. Di Indonesia sendiri, pencegahan penularan HIV/ADIS melalui sektor pendidikan dilakukan melalui jalur formal dan informal. Kementrian Pendidikan Nasional mengupayakan pengintegrasian edukasi HIV/AIDS dengan kurikulum pendidikan dasar, menengah, dan tinggi. Saat ini edukasi HIV/AIDS telah terintegrasi dengan beberapa mata ajar, misalnya Biologi, bahasa Indonesia, dan Pendidikan Jasmani Kesehatan.

Mulai hidup sehat dengan memerikaskan diri secara berkala, tidak melakukan seks bebas dan jauhi narkoba baik menggunakan jarum suntik atau pun tidak akan sama berbahaya bagi manusia dan yang paling terpenting adalah meningkatkan Iman dan Taqwa kepada Tuhan.