Cari Blog Ini

Total Tayangan Halaman

Senin, 13 Desember 2010

Cegah Penularan HIV kepada Janin

Cegah Penularan HIV! Hal ini sering kita dengar baik di media cetak, elektronik maupun internet. Hari AIDS sedunia yang baru saja diperingati tanggal 1 Desember lalu mengingatkan kita pada peringatan bulan Agustus 1987, ketika Thomas Netter dan James Bunn dari Program Global untuk AIDS milik badan kesehatan dunia WHO ingin menetapkan satu hari untuk meningkatkan kesadaran penduduk dunia atas penyebaran penyakit AIDS. Jonathan Mann adalah Direktur Program Global (sekarang dikenal sebagai UNAIDS), yang menyetujui dan memutuskan tanggal 1 Desember 1988 sebagai peringatan tahunan pertama untuk AIDS. Sementara pita merah yang menjadi simbol solidaritas terhadap HIV/AIDS dimulai tahun 1991.

AIDS memang penyakit yang memprihatinkan, salah satunya karena dapat menular dari ibu hamil kepada anaknya. Menurut laporan UNAIDS dalam Report on The Global AIDS Epidemic 2010, sepanjang tahun 2009 terdapat 370.000 anak yang tertular dari ibu mereka. Hal ini menunjukkan penurunan dibanding data pada tahun 2001, yaitu sebanyak 500.000 anak. Penurunan ini merupakan hasil perjuangan beberapa negara, di antaranya Botswana, Namibia, Afrika Selatan, dan Swaziland. Negara-negara tersebut memberikan lebih dari 80% obat antiretroviral (ARV) untuk mencegah perpindahan penyakit ini dari ibu ke anak. Prosentase wanita di negara miskin dan berkembang yang menerima ARV pun mengalami peningkatan, dari 15% di tahun 2005 menjadi 45% di tahun 2008 dan 53% di tahun 2009.

Meski demikian, masih sedikit ibu hamil yang memeriksakan diri dari kemungkinan HIV. Bisa jadi para ibu sudah ‘pasrah’ bahwa penyakit tersebut pasti akan menular kepada janinnya. Padahal, kondisi ini tidak selalu terjadi. Dengan memeriksakan diri, kondisi mereka menjadi lebih terpantau, selain mendapatkan informasi yang benar mengenai HIV pada ibu hamil. Misalnya, bahwa ibu hamil yang terinfeksi HIV tetap dapat melindungi bayi dengan pengobatan ARV dan setelah lahir tidak diizinkan untuk menyusui si bayi.

Program pemberian ARV secara cuma-cuma ini bersumber pada dana yang sebagian besar berasal dari program Global Fund for AIDS, TB, and Malaria yang digagas negara-negara G-8. Ketergantungan ini mencemaskan banyak pihak karena jika lisensi ARV berakhir, harga obat ini mungkin akan kembali mahal sehingga menyulitkan program pemberian ARV secara cuma-cuma. Meski demikian, Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) memastikan bahwa dana untuk mensubsidi ARV HIV/AIDS masih cukup hingga 2015, yang berasal dari Global Fund dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). UNAIDS sendiri bertekad menjadikan tahun 2015 sebagai tahun bebas perpindahan HIV dari ibu ke anak.

Untuk mendapatkan obat gratis ini, diperlukan bukti pemeriksaan laboratorium bahwa pasien yang bersangkutan benar-benar terinfeksi HIV/AIDS. Hal ini penting karena ARV sangat berbahaya bagi orang yang tidak mengidap HIV/AIDS. Meskipun demikian, ARV tidak sepenuhnya menyembuhkan HIV/AIDS. Obat ini hanya bertujuan memperlambat infeksi HIV dan menunda AIDS dengan cara mengganggu dan memperlambat replikasi HIV. Caranya dengan menghambat atau mengikat enzim yang diperlukan untuk menggandakan HIV. Jika HIV dapat menggandakan diri, ia akan menginfeksi sel lain yang masih sehat. Semakin banyak sel yang terinfeksi dapat menurunkan kekebalan tubuh secara keseluruhan.

Pemerintah Indonesia telah mematenkan produksi ARV jenis Efavirenz, Neviraphine, dan Lamivudine. Namun karena telah ditemukan kekebalan terhadap obat-obatan ini, pemerintah berusaha mematenkan ARV lini kedua, yaitu Tenovovir, Ritonavir dan Didanosin. Kini, 12 obat-obat ARV telah terdaftar dalam daftar obat penting WHO, yaitu Abacavir (ABC), Didanosin (ddI), Lamivudine (3TC), Stavudine (d4T), Zidovudine (ZDV atau AZT), Efavirenz (EGV atau EFZ), Nevirapine (NVP), Indinavir (IDV), Nelfinavir (NFV), Ritonavir, Saquinavir (SQV), Lopinavir/low-dose Ritonavir (LPV/r). Antarobat ARV ini akan dikombinasikan untuk mencapai pengobatan efektif dalam jangka panjang. Tujuannya adalah mengurangi jumlah HIV dalam darah dan meningkatkan jumlah sel darah putih yang penting bagi sistem kekebalan tubuh.

UNAIDS kini semakin menggiatkan edukasi terhadap remaja putri untuk memahami HIV dan cara penularannya. Di Indonesia sendiri, pencegahan penularan HIV/ADIS melalui sektor pendidikan dilakukan melalui jalur formal dan informal. Kementrian Pendidikan Nasional mengupayakan pengintegrasian edukasi HIV/AIDS dengan kurikulum pendidikan dasar, menengah, dan tinggi. Saat ini edukasi HIV/AIDS telah terintegrasi dengan beberapa mata ajar, misalnya Biologi, bahasa Indonesia, dan Pendidikan Jasmani Kesehatan.

Mulai hidup sehat dengan memerikaskan diri secara berkala, tidak melakukan seks bebas dan jauhi narkoba baik menggunakan jarum suntik atau pun tidak akan sama berbahaya bagi manusia dan yang paling terpenting adalah meningkatkan Iman dan Taqwa kepada Tuhan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar